Makalah Kedudukan Fatwa dalam Syariat Islam | Syamsudin Ramadhan [doc]
Makna Ijtihad
Menurut Imam al-Amidiy, secara literal kata “ijtihad” bermakna ,”Istafraagh al-wus’iy fi tahqiiq amr min al-umuur mustalzim li al-kalafat wa al-musyaqqaq” (mencurahkan seluruh kemampuan dalam mentahqiq (meneliti dan mengkaji) suatu perkara yang meniscayakan adanya kesukaran dan kesulitan)
Imam Ibnu Mandzur di dalam Lisaan al-Arab menyatakan, ”Aftaahu
fi al-amr abaanahu lahu (menyampaikan fatwa kepada dia pada suatu perkara,
maksudnya adalah menjelaskan perkara tersebut kepadanya). Wa aftaa al-rajulu fi
al-mas`alah (seorang laki-laki menyampaikan fatwa pada suatu masalah). wa
astaftaituhu fiihaa fa aftaaniy iftaa`an wa futaa (aku meminta fatwa kepadanya
dalam masalah tersebut, dan dia memberikan kepadaku sebuah fatwa)”.[Imam
Ibnu Mandzur, Lisaan al-’Arab, juz 15, hal. 145]
Sedangkan perkataan ”wa fataay” adalah asal dari kata futya atau
fatway. Futya dan fatwa adalah dua isim (kata benda) yang
digunakan dengan makna al-iftaa’. Oleh karena itu, dinyatakan ”aftaitu fulaanan
ru’yan ra`aaha idza ’abartuhaa lahu (aku memfatwakan kepada si fulan sebuah
pendapat yang dia baru mengetahui pendapat itu jika aku telah menjelaskannya
kepada dirinya). Wa aftaituhu fi mas`alatihi idza ajabtuhu ’anhaa (aku berfatwa
mengenai masalahnya jika aku telah menjelaskan jawaban atas masalah itu). [Ibid,
juz 15, hal. 145]
Pengarang Aun al-Ma’bud menyatakan, ”Sesungguhnya,
makna dari ”kata al-futya wa futway” adalah apa-apa yang difatwakan oleh
seorang faqih atau muftiy”. Dinyatakan : aftaahu fi al-mas`alah: ay ajaabahu (saya
menyampaikan fatwa kepadanya dalam suatu masalah: maksudnya saya menjawabnya)…”[’Aun
al-Ma’buud, juz 1, hal. 245]
Di dalam Kitab Mafaahim Islaamiyyah
diterangkan sebagai berikut, ”Secara literal, kata ”al-fatwa” bermakna
”jawaban atas persoalan-persoalan syariat atau perundang-perundangan yang
sulit. Bentuk jamaknya adalah fataawin dan fataaway. Jika dinyatakan ”aftay fi
al-mas`alah : menerangkan hukum dalam permasalahan tersebut. Sedangkan
al-iftaa` adalah penjelasan hukum-hukum dalam persoalan-persoalan syariat,
undang-undang, dan semua hal yang berkaitan dengan pertanyaan-pertanyaan orang
yang bertanya (ibaanat al-ahkaam fi al-mas`alah al-syar’iyyah, au qanuuniyyah,
au ghairihaa mimmaa yata’allaqu bisu`aal al-saail). Al-Muftiy adalah orang yang
menyampaikan penjelasan hukum atau menyampaikan fatwa di tengah-tengah
masyarakat. Mufti adalah seorang faqih yang diangkat oleh negara untuk menjawab
persoalan-persoalan…Sedangkan menurut pengertian syariat, tidak ada
perselisihan pendapat mengenai makna syariat dari kata al-fatwa dan al-iftaa’
berdasarkan makna bahasanya. Oleh karena itu, fatwa secara syariat bermakna,
penjelasan hukum syariat atas suatu permasalahan dari permasalahan-permasalah
yang ada, yang didukung oleh dalil yang berasal dari al-Quran, Sunnah
Nabawiyyah, dan ijtihad. Fatwa merupakan perkara yang sangat urgen bagi
manusia, dikarenakan tidak semua orang mampu menggali hukum-hukum syariat. Jika
mereka diharuskan memiliki kemampuan itu, yakni hingga mencapai taraf kemampuan
berijtihad, niscaya pekerjaan akan terlantar, dan roda kehidupan akan
terhenti…”[Mafaahim al-Islaamiyyah, juz 1, hal. 240]
Dari penjelasan di atas dapat
disimpulkan bahwa, fatwa adalah penjelasan hukum syariat atas berbagai macam
persoalan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat.
Kaedah Menggali Hukum Atau
Fatwa
Jika fatwa adalah penjelasan hukum syariat atas persoalan tertentu, maka,
kaedah pengambilan fatwa tidak ubahnya dengan kaedah menggali hukum-hukum
syariat dari dalil-dalil syariat (ijtihad). Pasalnya, satu-satunya
cara untuk mengetahui hukum syariat dari dalil-dalil syariat adalah dengan
ijtihad, tidak ada yang lain. Oleh karena itu, seorang muftiy tak
ubahnya dengan seorang mujtahid.
Makna Ijtihad
Menurut Imam al-Amidiy, secara literal kata “ijtihad”
bermakna ,”Istafraagh al-wus’iy fi tahqiiq amr min al-umuur mustalzim li
al-kalafat wa al-musyaqqaq” (mencurahkan seluruh kemampuan dalam mentahqiq
(meneliti dan mengkaji) suatu perkara yang meniscayakan adanya kesukaran
dan kesulitan)[1].
Imam Syaukaniy berpendapat, bahwa kata “ijtihad” diambil
dari kata al-juhd yang bermakna al-musyaqqah wa al-thaqah
(kesukaran dan kemampuan). Ijtihad digunakan secara khusus untuk
menggambarkan sesuatu yang membawa konsekuensi kesulitan dan kesukaran
(kemampuan paling optimal). Sedangkan suatu usaha yang tidak sampai pada taraf
“kesukaran dan kesulitan” (musyaqqah) tidak dinamakan dengan ijtihad. Dalam
kitab al-Mahshuul disebutkan, secara literal ijtihad bermakna “istafraagh
al-wus’iy fi ayy fi’li” (mencurahkan segenap kemampuan pada setiap perbuatan). Untuk
itu, kata istafraagh al-wus’iy hanya digunakan pada seseorang yang
membawa beban yang sangat berat, tidak bagi orang yang membawa beban yang
ringan.[2]
Di kalangan ‘ulama ushul, ijtihad diistilahkan dengan “istafraagh
al-wus’iy fi thalab al-dzann bi syai’i min ahkaam al-syar’iyyah ‘ala wajh min
al-nafs al-‘ajziy ‘an al-maziid fiih”; yakni mencurahkan seluruh kemampuan
untuk menggali hukum-hukum syara’ dari dalil-dalil dzanniy, hingga batas
dirinya merasa tidak mampu melakukan usaha lebih dari apa yang telah
dicurahkannya.”[3]
Berdasarkan definisi di
atas, dapatlah disimpulkan, bahwa iijtihad adalah proses menggali
hukum syara’ dari dalil-dalil yang bersifat dzanniy dengan mencurahkan segenap
tenaga dan kemampuan, hingga dirinya tidak mungkin lagi melakukan usaha lebih
dari itu.
Dengan demikian, suatu
aktivitas diakui sebagai ijtihad jika memenuhi tiga syarat berikut ini.
Untuk mendapatkan lengkap makalah ini silahkan Download link di bawah ini..
Untuk mendapatkan lengkap makalah ini silahkan Download link di bawah ini..