Perang, Nasionalisme Dan Kita
Nasionalisme yang meluap adalah faktor utama pemicu peperangan, kata Mohammad Iqbal. Maka filsut dan penyair menyeru kepada Benitto Mussolini bahwa satu-satunya jalan untuk menyelamatkan Italia adalah dengan meninggalkan budaya Barat dan menggantinya dengan peradaban Timur. Itu karena budaya Barat bersifat imperialis dan anti spiritual yang merupakan konsekuensi dari luapan nasionalisme. Hingga sejarah kemudian tak lupa mencatat, sekutu Jerman tersebut menemui kehancurannya dan dia dieksekusi tahun 1945.
Nasionalisme yang meluap
adalah faktor utama pemicu peperangan, kata Mohammad Iqbal. Maka filsut dan
penyair menyeru kepada Benitto Mussolini bahwa satu-satunya jalan untuk
menyelamatkan Italia adalah dengan meninggalkan budaya Barat dan menggantinya
dengan peradaban Timur. Itu karena budaya Barat bersifat imperialis dan anti
spiritual yang merupakan konsekuensi dari luapan nasionalisme. Hingga sejarah
kemudian tak lupa mencatat, sekutu Jerman tersebut menemui kehancurannya dan
dia dieksekusi tahun 1945.
Perang modern memang
begitu. Kebencian, kemarahan, api, peluru, jerit tangis, tetes darah, syahwat,
keserakahan, kesombongan. Perang itu tempat orang menemukan kepuasan dan
tujuannya dari setiap nyawa yang melayang dan dari setiap kehancuran yang
diakibatkannya. Perang seperti ini hanya bentuk-bentuk penyebaran kemenderitaan
orang-orang penyuka perang.
Karenanya Bob Dylan pun menuding
Tuhan telah berpihak kepada orang-orang yang menyukai perang. Dia mengatakan With
guns in their hands And God on their side. Melalui lirik lagunya dia
kemudian ’mengultimatum’ Tuhan, kalau memang Tuhan berpihak kepada kita. Dia
akan menghentikan perang berikutnya.
Logikanya berkata, Tuhan
yang Yang Maha Kuasa kok membiarkan saja perang terjadi. Kok diam saja melihat
ribuan bahkan jutaan orang menderita dan mati; Tuhan kok mendukung kesombongan
dan keserakahan merajalela.
Perang yang dicela Dylan adalah
perang yang berpihak pada kebatilan. Perang yang disulut orang-orang yang haus
darah, karena orang yang menjadi korban perang juga terlibat dalam perang itu
sendiri. Karena sejatinya kebatilan akan selalu berperang dengan kebenaran
sepanjang sejarah hidup manusia. Karena Rasulullah SAW juga berperang. Perang
itu jadi mulia jika kita berpihak pada sisi kebenaran dan berperang dengan
cara-cara yang mulia.
***
Jika perang disebabkan
luapan nasionalisme maka hampir pasti Indonesia tidak akan menjadi negara
pemicu perang. Indonesia gak bakalan menyerang Malaysia atau Singapura meskipun
kasus-kasus seperti Nirmala Bonat yang setengah mati disiksa majikan di negeri
jiran. Senasib dengan dia ada Tukiyem, Sunarsih, Siti, Maya, Dian dan sederet
nama lain yang pernah merasakan kejamnya hidup di negara serumpun itu.
Atau seperti kasus yang sedang marak, Manohara
Pinot yang katanya disiksa suaminya yang bangsawan Melayu, David Hartanto Widjadja
yang tewas mencurigakan di Singapura. Hal-hal seperti ini tidak cukup menjadi
kohesi bagi semangat kebangsaan dan kebersamaan kita. Kita cukup melihatnya
sebagai sebuah berita bahwa ada orang Indonesia yang mengalami nasib sial,
selanjutnya identifikasi kita mengatakan; oh dia orang NTT, oh dia orang Jawa,
oh si Anu itu orang China.
Tapi coba bayangkan reaksi
yang akan terjadi jika ada orang Amerika yang disiksa habis-habisan di sini,
dan pelakunya masih lenggang kangkung. Bahkan mesin-mesin perang Israel
langsung memborbardir Lebanon ketika seorang tentaranya tertangkap pejuang di
sana. Dan coba dengar betapa ’mulianya’ alasan mereka; satu orang tentara
Israel yang diperlakukan secara tidak adil pantas dibela meskipun itu harus
mengerahkan kekuatan militer. Maka segala macam hukum dan aturan dipersetankan.
Indonesia juga gak bakalan menyerang Amerika
Serikat dan China walaupun kita sudah hampir ’kelelep’ diserang terus menerus produk
barang atau franchise mereka. Meski kita ’dihisap’ secara ekonomi, meski
tak terbilang besarnya ’sumbangan’ kita bagi kemakmuran negara-negara tersebut
tapi toh kita terus asik menikmatinya.
***
Bukankah perang antara
kebenaran dan kebatilan sudah lama berlangsung dan akan terus berlangsung?
Dalam berbagai rupa bentuknya. Tidak saja dalam perang klasik antar negara yang
mengerahkan kekuatan militer tetapi perang itu terus berlangsung di level pemikiran
(ghazwul fikri), pemerintahan dan legislatif kita, masyarakat kita, di
lingkungan kita, di kantor kita bahkan di dalam diri kita sendiri.
Terkadang suatu perang yang tiba-tiba saja
harus kita hadapi, tidak terlalu menguntungkan bahkan sangat merugikan. Tapi pada
saat yang sama kita bisa menjadikannya perbendaharaan sebagai amunisi untuk
mengukir sejarah baru, untuk mencuri keuntungan baru darinya.
Maka kalau kita tidak bisa
bicara tentang kejayaan dengan orang Inggris karena mereka akan lebih berjaya,
kalau kita tidak bisa bicara kehebatan dengan orang Jerman karena mereka akan
lebih hebat dan kalau kita tidak bisa bicara tentang kemenangan dengan orang
Amerika karena mereka yang lebih menang. Tapi paling tidak sebagai negara yang
kurang memiliki rasa nasionalisme kita tidak akan menjadi orang yang memulai
perang. Karena kita tidak merasa lebih kuat dan hebat dari siapapun.
Foliopini : Dedi Syahputra
Foliopini : Dedi Syahputra